NADHAM BAK MEUREUNO, LITERATUR YANG TERABAIKAN

NADHAM BAK MEUREUNO, LITERATUR YANG TERABAIKAN

NADHAM BAK MEUREUNO, LITERATUR YANG TERABAIKAN

“Pertama phon ta meututô, kedua buet lee ta keurijaa
Keu lhee makan keu peut minum, limeng ta khem tertawa-tawa
Keu nam najih rhet bak jasad, teubuka aurat tujoh perkara
Nyang keu lapan beulakang kiblat, siekureung meuhat niet teugoega
Siploh meurtad i’tiekeud salah, takheun poe ta Allah gobnyan dua”

Sekilas bait-bait di atas terlihat seperti gubahan syair dan sajak Aceh biasa, namun bila kita melihatnya lebih jauh ada hal yang berbeda dalam bait-bait ini, yaitu kandungan isi yang ada di dalamnya, memaklumkan kepada kita tentang hal-hal yang dapat membatalkan salat dalam literatur fiqh. Ya, masyarakat Aceh mengenalnya dengan sebutan Nadlam.

            Nadlam bisa diartikan kalimat-kalimat sastra yang huruf akhirnya--mayoritas--sama, kata nadlam diambil dari bahasa arab: ‘al-nadhm’, yang artinya keteraturan atau kesesuaian. Keteraturan atau kesesuaian ini menyangkut segi penulisan, isi, maupun makna yang ingin disampaikan. Nadlam dibuat dengan huruf akhirnya yang sama agar memberi kesan menarik sehingga memudahkan untuk diucapkan dan diingat. Nadlam atau al-nadhm sudah dikenal lama oleh masyarakat Aceh sejak perkembangannya di tangan ulama-ulama kita dahulu.

            Nadham dalam bahasa Indonesia bisa dikategorikan sebagai Syair atau Pantun; disusun menggunakan sampiran dan isi yang indah. Di Aceh sendiri; banyak situs-situs budaya maupun manuskrip sejarah membuktikan, Aceh kaya akan sastra, diantaranya nadlam, nadlam-nadlam ini biasanya berisi tentang semua lini hidup manusia, baik dalam konteks ubudiyah, nasehat, petuah, kaedah-kaedah atau materi-materi keilmuan, sejarah, maupun adat istiadat masyarakat setempat, disajikan dalam bentuk bait-bait ringkas dan menarik.

            Masyarakat Aceh menggunakan nadlam ini sebagai metode penyampaian dan memudahkan mengingat source ilmu yang disampaikan. Sungguhpun demikian, meurunoe atau belajar pun tentu tidak akan pernah lepas dari aktivitas menghafal. Di lain pihak, sebagian dari kita akan menghadapi masa-masa sulit ketika harus menyimpan materi berkapasitas banyak ke dalam memory kita dalam waktu yang singkat. Pun demikian jikalau kita berhasil, jangan senang dahulu karena sewaktu-waktu kita akan dituntut untuk ‘memutar otak’ kembali di saat-saat yang diperlukan tanpa harus salah sedikitpun. Sama ketika di bangku sekolah dulu ketika kita menghafal komposisi warna pada pelangi, tanpa salah dan mudah sekali untuk mengingat ME-JI-KU-HI-BI-NI-U (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu), sekalipun akronim ini bersifat tidak resmi, namun tidak salah jika itu bertujuan untuk memudahkan menghafal.

            Sudah menjadi kebiasaan, masyarakat Aceh dalam berkomunikasi selalu memadukan bahasa mereka dengan bumbu-bumbu manis seperti: panton, nadlam, hadith madja, atau firman datok sekalipun, selain karena memang keindahan bahasanya, juga karena makna yang dikandungnya begitu tinggi. Sehingga kata-kata tersebut memberi kesan yang mendalam dan sulit untuk dilupakan. Dari dahulu hingga sekarang, tidak dapat dipungkiri masyarakat Aceh kental dengan hal-hal seperti ini.

            Di Aceh sendiri misalnya, ulama-ulama terdahulu yang telah berdedikasi menyumbangkan keilmuannya dalam bidang ini, seperti: Tgk. Syik H. Muhammad Lamjabat atau yang lebih dikenal dengan Abu Ja’far Lamjabat, menyusun Nadlam ‘Fawaaid al-Ashriyyah’ yang berisikan seputar permasalahan agama dan sosial. Sementara yang lain, Tgk. Syik Seumatang, Aceh Utara, dalam nadlam ‘Akhbarul Karim’, Tgk. Syik Abu Tanoh Abee, Seulimum, dalam nadlam beliau ‘Bahaya Siribee’ yang menjelaskan tentang perkara-perkara dan prahara yang terjadi di akhir zaman dan menjelang hari kiamat, dan lain sebagainya karya ulama-ulama Aceh lainnya yang telah mewarisi kekayaan nadlam kepada kita.

            Banyak cara sebenarnya yang bisa ditempuh dalam proses meurunoe dan menghafal ini, mulai dari cara lama--sebagian orang menganggapnya begitu--seperti nadlam, maupun dengan sistem era-digital dewasa ini. Akan tetapi sistem ala nadlam sangat teruji efektifitasnya terhadap pembelajaran pan-pan ilmu maupun terhadap ingatan para anak didik. Tak hanya di Aceh, di Arab, maupun di Barat sekalipun. Bagi seorang santri yang berkutat dengan kitab materi dan hafalan, tentunya menghafal matan maupun Nadham bukanlah hal baru bagi mereka.
           
            Dalam literatur pembelajaran kitab misalnya, selain penjelasan panjang lebar yang diberikan sang guru, anak didik juga dituntut untuk menghafal nadlam atau matan kitab tersebut, seperti matan Tuhfatul Al-Athfal dalam pan Tajwid, matan Waraqat Ushul dalam Ushul Fiqh, matan Tuhfat al-Tsaniyah, matan ajrumiyah, matan alfiyah dalam Ilmu tata bahasa arab dan lain sebagainya. Dengan kata lain, materi-materi yang begitu banyak telah di-compress terlebih dahulu kedalam nadham atau matan, lalu dihafal dan ketika dibutuhkan anak didik tinggal meng-extract-nya saja. Layaknya penggunaan “RAR File” dalam ilmu komputer.

            Berikut penggalan Nadhm Matan Tuhfatul Athfal fi ‘ilm Tajwid Syaikh Sulaiman bin Hasan bin Muhammad Al Jamzuriy; [1]
لِلنُّوْنِ إِنْ تَسْكُنْ وَلِتَّنْوِيْنِ اَرْبَعُ اَحْكَامِ فَخَدٌ تُبْيِيْن
فَااْلأَوَّلُ اْلأِظْهَارُ قُبْلَ اْلأَحْرُفْ لِلْحَق سِتٌّ رَتِبَتْ فَتُعَرفِ
هَمْنٌ فَهَاءُ ثُمَّ عَيْنُ حاءُ مُحْمَلَتَانِ ثُمَّ غَيْنُ خَاءُ

            “Nun mati dan tanwin padanya berlaku  4 hukum ambilah penjelasanku
            Yang pertama Idzhar terletak sebelum huruf-huruf tenggorokan berjumlah 6
            Hamzah dan Ha huruf Kha huruf Ain  kemudian huruf Kha dan huruf Ghoin”

            Dari bait-bait di atas dapat dipahami bahwa dalam hukum Tajwid jika Nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf di atas maka dibaca Idhar (jelas). Bait di atas juga menyebutkan sejumlah huruf yang termasuk kategori Idhar. Kemudian kita lihat lagi bait berikut ini;
صِفْ ذَا ثَـنَا كَمْ جَادَ شَخْصٌ قَدْ سمَا * دُمْ طَيّـَباً زِدْ فِي تُـقَىً ضَعْ ظَالِـمَا

            Penggalan nadham di atas adalah 15 huruf Ikhfa, yaitu huruf-huruf yang ada di awal kata dalam penggalan bait tersebut; kesemua huruf itu dihimpun hanya dalam satu baris saja. Ini sangat memudahkan pelajar untuk menghafalkan huruf-huruf tersebut daripada harus menghafal dan mengklasifikasikannya satu persatu sesuai urutan huruf hijayyah. Begitu juga dengan Nadham dan matan-matan lainnya.

            Sistem penguasaan keilmuan di Aceh, penulis rasa sama dengan metode penguasaan ilmu di Arab. Semua murid dituntut untuk menghafal bait-bait tertentu yang disebut matan atau nadlam seperti halnya matan-matan alfiyah atau waraqat yang juga dipelajari santri dayah-dayah tradisional dan terpadu di Aceh. Orang Arab yang ber-ibu-kan bahasa Arab sekalipun, masih menggunakan metode ini sampai sekarang, terlebih lagi kita masyarakat Aceh yang tidak ber-ibu-kan bahasa Arab.

            Alhamdulillah, di Aceh cara ini juga diterapkan untuk memudahkan murid dalam mengingat materi tersebut, ditambah lagi kredibilitas ulama-ulama kita dalam penggubahan materi kitab ke kalimat-kalimat nadlam patut diacungkan jempol, singkat dengan racikan bahasa yang tersusun rapi. Dalam nadlam nasehat dan kehidupan sosial misalnya, tak jarang kita temukan kata kata dalam nadlam yang ‘pedas’ dan ‘menggelitik’, namun terkandung di dalamnya nilai-nilai pembelajaran yang sangat tinggi, berkesan dan sulit untuk dilupakan. Memang begitu, nadlam kita, nadlam Aceh.

            Menghafal bukanlah perkara mudah, banyak yang menyerah jikalau diperintahkan oleh guru untuk menghafal, bahkan ada yang mencukupkan hanya sampai membaca dan memahami saja; tidak untuk menghafal. Namun hal ini bisa kita siasati, dalam praktek penghafalannya, nadlam biasanya diiringi dengan irama-irama tertentu. Hal ini dimaksudkan agar nadlam yang berisi materi-materi lebih gampang diingat dan dihafal. Contoh yang sederhana saja, mengapa dengan mudahnya kita bisa menghafal lirik lagu walaupun kita sama sekali tidak berniat menghafal lirik lagu tersebut? Lalu mengapa untuk menghafal satu paragraf saja kalimat-kalimat yang ada dalam surat kabar kita merasa berat? Ya, jawabannya karena adanya paduan ritme-ritme yang ada dalam irama lagu tersebut, menjadikan kita ‘terhafal’ dengan sendirinya. Berbeda halnya dengan surat kabar yang sifatnya menoton dan tidak menggunakan irama.

            Secara Psikologi, ritme-ritme dalam irama mampu meningkatkan fungsi kerja otak kita. Paduan ritme memberikan rasa nyaman dan tenang pada otak sehingga membuat fungsi kerja otak dalam berpikir menjadi lebih jernih dan tajam, terlebih daya ingat dan memory otak kirikita cenderung berasosiasi langsung dengan kecerdasan dan perkembangan daya ingat, sementara otak kanan mengingat hal-hal yang sifatnya indah dan penuh seni serta bentuk. Pada akhirnya perpaduan kecerdasan otak kiri dan kanan menghasilkan ketajaman memory untuk terus mengingat hal-hal yang sifatnya indah seperti yang ada pada irama-irama dan keteraturan bahasa yang digunakan dalam nadham.

            Cobalah melakukan survey pada orang-orang tua sekeliling kita, mengapa mereka mampu mengingat materi-materi terdahulu yang telah dipelajarinya  puluhan tahun silam bahkan ketika mereka kecil? Sekali lagi, karena mereka menggubahnya dalam bentuk syair dan nadlam. Mereka mampu mengulanginya tanpa keliru sedikitpun. Kekuatan irama yang diulang-ulang juga diyakini dapat menghilangkan kebosanan, kejenuhan serta membangkitkan semangat. Bisa dibuktikan!
           
            Sama halnya dengan pengalaman pribadi penulis, penulis tidak pernah sekalipun berusaha menghafal surat Al-Ghasiyah dan dan Al-Infithar, namun terhafal dengan sendirinya karena keindahan irama dan pengulangannya. Di kampong penulis ada seorang Imam tua- kini beliau telah almarhum, Allah Yarhamuh; setiap salat beliau selalu membaca surat Al-Ghasiyah, tidak pernah beliau lupa untuk membaca surat itu dengan iramanya yang khas, begitu juga ketertarikan penulis dengan irama Al-Infitar dari speaker mesjid yang dikumandangkan oleh Qari Mesir, Syekh Sayyid Mutawalli. Keindahan Irama, bacaan yang diulang-ulang ternyata memberi dampak nyata bagi penulis untuk bisa mengulang kedua Surat tersebut tanpa salah sedikitpun. Walhasil penulis hafal kedua surat itu tanpa harus menghafal.
           
            Penulis pernah bertanya kepada tetua di domisili penulis, bait-bait nadham atau hadih maja-firman datok, apakah mereka menghafalnya? Jawaban yang paling mengejutkan adalah TIDAK! Mereka tidak pernah menghafalnya,semuanya itu diperoleh dengan terhafal, bukan menghafal atau dihafal, ada awalan ter- yang berarti tidak sengaja. Jawabannya terletak pada keindahan dan keteraturan bahasa yang ada dalam nadham dan hadih maja tersebut sehingga dengan sendirinya bait-bait itu terekam sempurna dalam memory mereka.

            Ulama-ulama dan leluhur kita dahulu, menjadikan Nadham ini sebagai media untuk memudahkan mereka dalam menguasai ilmu alat, yaitu ilmu pokok yang wajib dikuasai oleh setiap individu, lalu mengubahnya menjadi sebuah irama lagu atau kepada hal-hal yang mudah diingat. Tujuannya hanya satu, memasukkan materi dan ilmu kepada anak didik dalam proses belajar mengajar.
           
            Pola belajar dengan menggunakan Nadham ini menjadi hal wajib beberapa tempat belajar dan pesantren. Seperti di pesantren terpadu Ruhul Islam Anak Bangsa Aceh Besar misalnya, santri kelas I Aliyah diwajibkan menghafal nadham Tuhfatul Athfal sebelum mereka beranjak kepada pemahaman tajwid yang lebih mendalam. Amatan penulis mereka yang telah menghafal Nadham ini lebih mudah menyerap materi-materi lanjutan  yang diberikan oleh guru dibanding mereka yang belajar tajwid tidak dengan metode ini.

            Pun di dayah-dayah tradisional Aceh, anak didik diharuskan menghafal matan-matan dasar guna memudahkan pemahaman terhadap materi yang diberikan, bahkan ada yang menjadikannya syarat kenaikan kelas, sebab materi di kelas selanjutnya akan lebih sulit untuk dipahami bila ditingkat dasarnya tidak dibekali dengan matan dan nadham dasar.

            Penulis membayangkan di tengah kondisi sosial pelajar, pemuda dan masyarakat kita sekarang ini, di tengah semangat dan motivasi belajar mereka yang melemah, tidak adakah yang berani mencoba menggubah bait-bait alfiyah-misalnya-ke dalam lirik lagu Geisha-Lumpuhkan Ingatanku atau lirik lainnya? Memang untuk menggubahnya tidaklah mudah, seorang alih lirik atau penggubah harus menguasai bahar[2]dalam ilmu ‘Arudh dan kalimat-kalimat dalam baitnya terlebih dahulu, tetapi tidak salah kalau dicoba.

            Penting bagi literatur sebuah budaya, nadlam ini haruslah mendapatkan perhatian khusus, penggunaannya dalam proses belajar mengajar harus lebih digalakkan dan ditingkatkan, tidak hanya di kalangan dayah atau pesantren, namun untuk semua kalangan dan untuk semua pan ilmu, terlebih melihat urgensinya kedepan. Apalagi dewasa ini ketergantungan kita kepada teknologi dan informasi yang sangat mudah kali didapat, menjadikan kita ‘manja’ dan jarang menerapkan metode nadlam dalam menghafal.

            Pun demikian, budaya nadlam ini tidak terlepas dari kontradiksi, sebagian orang menganggap metode nadlam adalah cara lama, tapi penulis rasa tidak ada masalah, karena dalam konteks ini penulis lebih suka menggunakan kaedah ‘Al-muhafadhatu ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Ashlah”--(menjaga sistem lama sembari mencoba menggunakan sistem yang baru)—jadi, tak ada salahnya kita menggunakan cara baru dengan tetap mempertahankan cara yang lama. Sangat memprihatinkan bila metode belajar dengan cara nadlam ini terabaikan begitu saja.

            Terakhir mengingat pentingnya metode menghafal materi dengan cara nadlam ini, hendaknya menjadi perhatian kita semua untuk melestarikan kembali budaya nadlam ini, penulis rasa pembudidayaan dan pemugaran kembali nadlam ini haruslah setara dengan prioritas adat istiadat dan kebudayaan lainnya yang dimotori oleh LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh) atau MAA (Majelis Adat Aceh); terlebih nadlam adalah warisan budaya dari leluhur yang patut kita pelihara selalu. Wallahu A’lam.





            [1] https://www.wattpad.com/19008978-tuhfatul-athfal; Pengarang kitab nadham ini adalah Syaikh Sulaiman bin Hasan bin Muhammad Al Jamzuriy yang dinisbatkan pada salah satu kampung di Mesir yang disebut Jamzur, dekat daerah Thanta. Beliau lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 1160-an. Beliau mengambil ilmu dari banyak guru. Beliau belajar ilmu tajwid dan qiraah  dengan Syaikh Nuruddin Al Mihiy. Diantara karangannya adalah Matan Tuhfathul Athfal, Fathul Aqfal Fi Syarhi Tuhfatil Athfal, dan Fathurrahmaaniy fi Qiraatil Qur’an. Kitab Matan Tuhfatul Athfal  adalah sebuah kitab nadzham (syair) yang mengandung kaidah-kaidah dasar ilmu tajwid yang dirangkai dengan bait-bait syair yang indah.

                [2]Kajian Ilmu Arudh-Bahasa Arab, Bahar adalah wazan atau timbangan tertentu yang dijadikan pola dalam menggubah syiir Arab

No comments